Selasa, 20 November 2012

Bila Alat Pembeda Tak Lagi Berbeda

Merek adalah tanda pembeda, alat promosi, dan jaminan kualitas. Namun, apa jadinya bila beberapa merek franchise lokal menggunakan logo mirip dengan franchise asing?
Pembajakan telah menjadi momok yang menjengkelkan di negeri ini. Gerak-geriknya tidak terlihat, hanya hasil tiruannya yang tiba-tiba sudah beredar di pasaran. Sangat meresahkan. Para musisi geram karena karya seninya diperbanyak tanpa ijin dan nihil royalti. Begitu pun para pembuat software, proses pembuatannya yang rumit dan memakan rupanya diperbanyak secara ilegal. Meskipun telah ada hukum yang menjerat, entah mengapa pelakunya masih bebas bergerak.


Di dunia usaha pembajakan pun sering kali terjadi. Misalnya, logo atau merek dari brand ternama banyak ditiru oleh para pengusaha lain. Padahal logo dan merek termasuk dalam kekayaan intelektual yang juga dilindungi oleh hukum. Maka, setiap logo atau merek yang memiliki landasan hukum akan mencantumkan simbol copyright (©), trademark (™), atau registered (®).
Menurut Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Iskandar, trademark atau merek dagang adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Sementara copyright atau hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan registered atau terdaftar artinya merek tersebut sudah terdaftar di kantor HKI.
Sebagai contoh, Majalah DUIT! membandingkan dua logo franchise kopi, yakni Coffee Break Cafe dengan Starbucks Coffee. Dua logo ini kemudian dianalisa oleh Konsultan HKI Iskandar.
“Menurut saya memang bisa ada dua pendapat untuk merek ini, yaitu merek Coffee Break Cafe mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek Starbucks Coffee dengan indikasi-geografis yang sudah terkenal. Karena memang sekilas memang mirip dengan merek yang sudah terkenal. Merek Coffee Break Cafe berbeda dengan merek Starbucks Coffee karena cara penyebutannya sangat berbeda dan artinya juga berbeda. Starbucks Coffee artinya kopi Starbucks dan  Coffee Break Cafe artinya kafe atau restoran kopi 'break' (istirahat). Jadi berbeda makna,” ujar Iskandar.
Ia menambahkan, pihak yang berhak menentukan bahwa merek ini terkena pasal 6 UU Merek adalah kantor Dirjen HKI, DepHumHam RI, khususnya bagian pemeriksa merek. Bila pendaftar Coffee Break Cafe merasa tidak puas atas hasil putusan pemeriksa merek (ditolak pendaftarannya), yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke Komisi Banding Merek. Bila masih tidak puas bisa ke pengadilan niaga dan Kasasi Mahkamah Agung. UU yang mengatur tentang merek telah diatur dalam UU Merek No. 15, tahun 2001.
Merek pada dasarnya berfungsi sebagai tanda pembeda, alat promosi, dan jaminan kualitas. Merek tidak dapat didaftar bila memuat unsur-unsur yang menyesatkan tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan, dan nama varietas tanaman.

Menentukan mirip atau tidaknya sebuah merek memang bukan tugas yang mudah. Menurut UU Merek Pasal 6 disebutkan bahwa permohonan sebuah merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek yang diajukan tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; dan mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.
“Bahwa memang suatu merek disebut mirip atau serupa dengan merek yang lain (Pasal 6) merupakan daerah abu-abu dan sangat subjektif, sama juga dengan merek terkenal, juga daerah abu-abu. Tergantung dari sisi siapa melihatnya dan kepentingannya apa,” ujar Iskandar.

Ditegur Starbucks
Akibat menggunakan logo yang mirip Starbucks, Pecel Lele Lela sempat mendapatkan teguran dari Starbucks Coffee. “Kejadian ini terjadi tepat tiga tahun setelah Pecel Lele Lela berdiri,” ungkap Rangga Umara, seperti dikutip Kontan. Pihak Starbucks melayangkan surat yang menyatakan keberatan atas logo Lela yang mirip Starbucks, pada 2009. Namun, pada akhirnya masalah tersebut dapat diselesaikan dengan cara damai. “Saya bersyukur, mediasi dan langkah damai yang kami ajukan diterima dan gugatan pun batal dilayangkan,” imbuh dia.
Rangga menyatakan sebenarnya logo kedai yang didesain pada 2006 itu tidak sama persis dengan logo Starbucks. Ia berdalih warna hijau yang digunakan tidak sama dengan warna hijau milik Starbucks. Selain itu, gambar tengahnya pun berbeda. “Saya hanya terinspirasi dan menerapkan pola ATM, yakni amati, tiru, dan modifikasi,” aku Rangga. Kata Rangga, bila Lela tidak tumbuh dan berkembang seperti saat ini, barangkali keberatan Starbucks tidak akan ada.
Akan tetapi, untuk menepis keberatan dari pihak mana pun, Rangga memutuskan untuk mengubah logo perusahaannya. Ia tak lagi menggunakan lingkaran hijau bertuliskan Pecel Lele Lela yang mirip Starbucks, tapi bergambar lele terlentang di atas piring dengan menggenggam sendok garpu. Rangga optimistis perubahan logo tidak akan mempengaruhi penjualan.
Di lain sisi, pihak Coffee Break Cafe justru memperkenalkan diri sebagai kedai kopi yang logonya mirip Starbucks Coffee. “Itu lho, yang logonya mirip Starbucks,” tutur Yudi Haryanto, pemilik Coffee Break ketika memperkenalkan diri kepada Majalah DUIT! Yudi beralasan kemiripan logo ini untuk mempermudah masyarakat mengingat logo miliknya.
Namun, Yudi yakin pihaknya tidak akan ditegur Starbucks Coffee. “Ada tiga hal yang membuat sebuah logo itu mirip, yakni warna, font huruf, dan bentuk. Meski logo kami bentuknya hampir sama, tapi untuk warna dan font huruf berbeda,” kata Yudi, yang memilih warna kecoklatan untuk logonya. Perbedaan warna ini pula, kata Yudi, yang membuat koleganya, Semerbak Coffee “aman” dari teguran Starbucks. “Semerbak memilih warna ungu,” jelas dia.
Agar tak menyesal di kemudian hari, Yudi telah mendaftarkan mereknya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM Indonesia, pada medio 2008 silam. Sebelumnya, Yudi telah berkonsultasi dengan konsultan merek mengenai logo perusahaannya. “Logo kami tidak melanggar hak cipta pihak lain. Jadi, saya makin percaya diri untuk mendaftarkan ke Dirjen HKI,” ungkap dia.
Lebih lanjut, Benny Muliawan, Ketua BNL Patent yang bergerak di bidang jasa konsultan perlindungan HKI menuturkan bahwa dalam dunia bisnis, karya kekayaan intelektual merupakan aset yang sangat berharga. Oleh sebab itu, “Pengusaha harus memperhatikan HKI agar tidak terjadi pemalsuan karya oleh orang lain,” tutur Benny, seperti dikutip Warta Ubaya.
Sementara itu, Patuan Sinaga, partner pada kantor hukum Nita, Diah & Patuan Law Firm menyarankan pengusaha melakukan pengecekan terhadap merek-merek yang sudah didaftarkan terlebih dahulu. Tujuannya, agar tidak terjadi masalah seperti peniruan atau pemalsuan merek dagang. “Jika belum terdaftar, maka nama atau merek tersebut dapat didaftarkan,” kata Patuan.

Indonesia menerapkan sistem first to file untuk pendaftaran. Jadi, siapa yang mendaftar merek, paten, ataupun desain industrinya lebih dulu, maka ia berhak menggunakannya. Seandainya ada pihak lain yang mengajukan merek/desain yang sama, meskipun pihak tersebut yang menciptakannya lebih dulu, maka pengajuannya akan ditolak.
“Jika nanti kita mendapat somasi berbau HKI, maka tidak perlu panik. Lebih baik diskusikan kepada konsultan HKI sebagai pihak yang mengerti masalah ini,” pungkas Benny. $$$ ALDY FAUZAL

Sumber: 
1. majalahduit.co.id
2. http://indotrademark.com/bila_alat_pembeda_tak_lagi_berbeda_berita63.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar