04 September 2011 - Artikel
Ditulis oleh Husnul Haq*
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa.
Merek memiliki banyak fungsi, di antaranya ia mencerminkan sebuah barang
atau jasa dari segi jenis, kualitas, mutu, dan cara penyajian. Seorang
konsumen yang pergi ke restoran Kentucky Fried Chicken, misalnya,
menganggap bahwa tingkat kualitas makanan di semua restoran yang
berlabel Kentucky Fried Chicken semua sama, terlepas dari jarak antara
mereka. Artinya, restoran KFC di Amerika sama dengan KFC di Indonesia
dalam hal kualitas, mutu dan cara penyajian, meskipun jaraknya jauh.
Merek merupakan problematika baru yang muncul seiring makin
menggeliatnya aktivitas bisnis. Merek digunakan pertama kali di
negara-negara eropa. Sebab itu, pada sekitar pertengahan abad 19,
berbagai undang-undang tentang perlindungan merek mulai bermunculan di
sana. Baru pada sekitar permulaan abad 20, merek mulai masuk di
komunitas masyarakat Islam. Dari sini para ulama berusaha mengkaji
hakekat merek dan hukum memakainya sebagai objek transaksi, agar
masyarakat khususnya pemakai merek merasa nyaman akan legalitas
transaksi tersebut.
Hakekat Merek
Ulama fiqih kontemporer memasukkan merek ke dalam beberapa kategori:
Pertama, merek sebagai harta kekayaan (al-Mal). Para ulama fiqih berbeda
pendapat tentang pengertian dan cakupan al-Mal. Ulama mazhab Hanafi
membatasi cakupan harta hanya pada barang atau benda, sedangkan
mayoritas ulama memperluas cakupannya sehingga tidak terbatas pada benda
saja, tapi juga hak-hak (huquq) dan manfa’at (manafi’).
Dalam hal ini, penulis menganggap pendapat mayoritas ulama lebih unggul
dibanding pendapat ulama mazhab Hanafi yang membatasi pengertian harta
hanya pada benda atau barang saja. Hal itu karena pendapat kedua ini
tidak relevan dengan perkembangan zaman. Buktinya, sekarang banyak hal
yang bukan dalam bentuk barang tetapi dianggap sebagai harta kekayaan,
seperti hak cipta dan hak paten yang bisa dikomersilkan dan mendatangkan
keuntungan materi bagi pemiliknya.
Untuk saat ini, salah satu hal non materi tetapi bisa dikomersilkan dan
dapat mendatangkan keuntungan luar biasa bagi sang pemilik adalah merek.
Sebuah merek akan mendatangkan keutungan bagi pemiliknya apabila
terkenal akan kualitas barangnya sehingga banyak diminati oleh para
konsumen. Bahkan, kadang-kadang harga sebuah merek jauh lebih mahal
dibanding harga perusahaannya.
Barangkali, hasil riset perusahaan Firma riset Millward Brown BrandZ
akan membuat kita tercengang, di mana perusahaan itu menempatkan Google
sebagai merek terbaik di bidang teknologi dalam daftar 100 merek paling
berharga tahun 2010. Disusul dengan merek Apple, IBM, dan Microsoft pada
posisi kedua, ketiga, dan keempat.
Millward Brown menilai merek Google bernilai lebih dari US$114 miliar.
Jumlah ini 14% lebih besar dari nilai pada 2009. Sedang nilai IBM
meningkat 30% menjadi US$86 miliar, dan Apple 32% (US$83 miliar).
Microsoft berada di posisi keempat dengan nilai merek sebesar US$76
miliar. Di bawahnya terdapat produsen minuman ringan Coca Cola dengan
nilai merek diperkirakan sebesar US$68 miliar.
Semua fakta di atas menunjukkan kepada kita betapa merek telah menjadi
harta yang bisa mendatangkan manfaat bagi pemiliknya. Karena itu, ia
wajib dijaga dan dilindungi.
Kedua, Merek bisa dijadikan sebagai hak milik (milkiyah). Ia bisa
dijadikan sebagai hak milik karena merupakan harta yang bermanfaat dan
mendatangkan maslahat bagi perusahaan pemilik maupun bagi konsumen.
Apalagi sang pemilik telah mengucurkan tenaga, pikiran, waktu dan dana
yang tidak sedikit untuk membuat sebuah merek berikut produk dengan
kualitas baik, lalu mempublikasikannya melalui iklan-iklan di televisi,
radio, internet dan lain-lain, yang kesemuanya juga membutuhkan biaya.
Sebab itu, maka sangat pantas bila jerih payahnya dilindungi dan
kepemilikanya terhadap merek diakui.
Perlindungan Atas Merek
Pada dasarnya perlindungan atas merek dalam syariat Islam kembali kepada
perlindungan atas harta dan hak milik. Islam sangat menghormati harta
dan hak milik. Kaitanya dengan harta Islam menjaganya dengan cara
mensyariatkan berbagai macam transaksi seperti jual beli, sewa menyewa,
pergadaian, sebagaimana Allah mengharamkan riba, penipuan, pencurian,
dan mewajibkan hukuman potong tangan bagi pencuri.
Sedangkan tentang hak milik, Islam bukan saja mengakui hak milik tetapi
juga melidunginya dari manipulasi dan pemborosan. Sebab itu Islam
mensyariatkan validasi hutang dengan cara mencatatnya, sebagaimana
firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang
piutang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.” (Al-Baqarah: 282).
Akan tetapi di sana-sini kita masih sering mendengar berita pemalsuan
merek yang bukan hanya merugikan pemilik merek tetapi juga konsumen.
Masih hangat di pikiran kita pemalsuan Merek DUNKIN’ DONUTS dengan
DONATS’ DONUTS di Yogyakarta, di mana merek DUNKIN’ DONUTS milik DUNKIN’
DONUTS INC., USA yang telah terdaftar di banyak negara di dunia,
termasuk di Indonesia.
Pemalsuan merek melanggar undang-undang Negara Republik Indonesia,
terutama UU nomer 15 tahun 2001 tentang merek, sebagaimana melanggar
Syariat Islam. Karena itu, maka hukumnya haram sebab termasuk dalam
kategori penipuan, bahkan kadang-kadang pemalsuan merek bisa mengancam
keselamatan konsumen, terutama apabila yang dipalsukan berupa merek
makanan, minuman, atau obat-obatan.
Barangkali kita masih ingat kejadian pesta minuman keras oplosan yang
berujung maut di Wonogiri pada bulan Februari lalu, di mana polisi
mensinyalir adanya pemalsuan merek oleh pabrik pembuat dengan nama
Vodka.
Kejadian di atas – terlepas dari hukum haram mengkonsumsi minuman keras –
merupakan salah satu bukti betapa pemalsuan merek bisa merugikan banyak
pihak, baik kerugian berupa material, bahkan kadang bisa merugikan
kesehatan. Oleh karena itu, para ulama fiqih mengharamkan pemalsuan
merek.
Sedangkan mengenai hukuman yang pantas buat pemalsu, dalam syariat Islam
tidak ada nash yang membahasnya. Oleh sebab itu maka hukuman yang
paling cocok – menurut hemat penulis - adalah ta’zir karena ta’zir
merupakan hukuman terhadap suatu kejahatan yang belum ada ketentuanya
dalam syariat Islam. Hukuman ta’zir merupakan hak prerogatif pemerintah;
apa hukuman yang pantas diberikan kepada pelanggar, dengan
mempertimbangkan bentuk pelanggaran, keadaan pelanggar serta ekses yang
timbul akibat pelanggaran itu.
Merek Sebagai Objek Transaksi
Simak
Baca secara fonetik
Telah disebutkan di atas bahwa fiqih menganggap merek sebagai harta
kekayaan yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan. Dari sini fiqih
melegalkan merek sebagai objek transaksi, baik dalam transaksi jual
beli, sewa menyewa (pemberian lisensi), dan sebagainya.
Pertama, Jual beli merek. Kurang lebih ada dua metode jual beli merek:
cara pertama, suatu perusahaan membeli merek dari perusahaan lain dengan
kesepakatan perusahaan penjual akan menyertakan para pakar guna
mengajarkan kepada karyawan perusahaan pembeli tentang tata cara
pembuatan barang sesuai standar kualitas barang yang diproduksi
perusahaan penjual.
Jual beli jenis isi, pada hakekatnya, merupakan jual beli atas
pengalaman, sedangkan penyertaan merek merupakan kompensasi dari jual
beli itu. Oleh karena itu maka hukumnya boleh dengan dua syarat; merek
tersebut harus terdaftar secara sah dan jual beli itu tidak menyebabkan
penipuan bagi konsumen.
Cara kedua, jual beli antara kedua perusahaan tanpa disertai kewajiban
penjual untuk mengajarkan tata cara pembuatan barang. Adapun tujuan jual
beli itu hanya agar barang produksi perusahaan pembeli laku keras di
pasaran karena memakai merek itu. Hukum jual beli ini adalah haram
karena adanya unsur penipuan, dan menyebabkan salah faham bagi konsumen.
Kedua: Menyewakan merek (memberikan lisensi). Dalam tradisi bisnis
modern kita sering mendengar istilah lisensi, yaitu izin yang diberikan
oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian
berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan
Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau
jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
Dari definisi di atas bisa kita ketahui bahwa akad pemberian lisensi
secara substantif sama dengan akad ijaroh dalam fiqih klasik. Ijaroh
(operasional lease) dalam fiqih sering diartikan sebagai akad pemindahan
hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Akad ini
disyariatkan dalam Islam karena kebutuhan manusia untuk saling
menyewakan barangnya.
Dalam fiqih klasik objek yang boleh disewakan tidak terbatas pada barang
saja, namun manfaat barang juga boleh disewakan dengan syarat manfaat
itu diketahui secara jelas, bisa dipakai dan berupa manfaat yang mubah
secara syara’. Oleh karena itu maka akad lisensi hukumnya legal secara
syara’ karena termasuk dalam akad sewa menyewa.
Dari pemaparan di atas bisa kita tarik garis kesimpulan bahwa merek
masuk dalam kategori harta, sebab itu seluruh ketentuan-ketentuan yang
berlaku pada harta benda juga berlaku padanya, seperti bolehnya dimiliki
dan dijadikan objek akad (al-ma’qud ‘alaih), baik akad mu’awadhah
(pertukaran, komersial), maupun akad tabarru’at (nonkomersial), serta
dapat diwaqafkan dan diwariskan.
Di samping itu, merek dilindungi dalam fiqih. Menjiplak, meniru, atau
memalsukan merek hukumnya haram, dan para pelakunya akan dikenai hukuman
ta’zir, yang bisa berupa denda, penjara, atau apa saja yang menurut
pemerintah patut diberikan, dengan mengaca pada pelaku pelanggaran,
jenis pelanggaran, dan sejauh mana dampak pelanggaran itu terhadap
aktivitas bisnis maupun terhadap konsumen. Wallahu a’lam.
* Dosen UIN Malang dan STAIN Purwokerto, alumni IIU Malaysia.
Sumber: http://indotrademark.com/merek_dalam_perspektif_fiqih_berita41.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar