Kasus
pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co. dimulai
pada saat pemilik merek “Toarco Toraja” tersebut mengajukan permohonan
perlindungan atas merek kopi yang mulai populer di Jepang. Ancaman
adanya pesaing yang menggunakan merek dagang dengan nama yang sama
menjadi dasar permohonan perlindungan mereknya pada 1974 dan kemudian
pendaftarannya dikabulkan pada 1976.
Seiring dengan perlindungan merek bersangkutan, berkembang pula norma yang melindungi nama daerah (letak geografis) sebagai tanda untuk mengenali kualitas ataupun ciri khas produk tertentu. Nilai ekonomis produk yang menggunakan IG menjadi issue
penting dalam perdagangan. Utamanya, setelah secara definitif
diperkenalkan pada aturan dagang internasional dalam kerangka WTO,
khususnya melalui Pasal 22 s.d. Pasal 24 Persetujuan TRIPs. Adanya
perkembangan ini membuka peluang beberapa perusahaan kopi di Jepang
untuk mengajukan permohonan penghentian penggunaan monopoli kata
“Toraja” pada merek dagang yang dimiliki Key Coffee Co. atas jenis
produk kopi. Dasarnya karena penggunaan nama daerah asal penghasil kopi
bersangkutan dianggap sebagai domain publik. Bahkan sengketa
penyalahgunaan nama Toraja sebagai merek dagang ini pernah sampai pada
pengadilan Urawa, Jepang pada 1997. Walaupun diakhiri dengan kesepakatan
damai, Key Coffee tetap saja sebagai pihak yang memberikan izin
penggunaan nama Toraja di Jepang
Geographical Indication atau Indikasi Geografis (IG) yang tertuang dalam norma Persetujuan TRIPs merupakan pengembangan dari aturan mengenai Appellation of Origin (“AO”) sebagaimana diatur dalam The Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 (Konvensi Paris 1883), sebagai berikut:
…
the geographical name of a country, region, or locality, which serves
to designate a product originating therein, the quality and
characteristic of which are due exclusively or essentially to the
geographical environment, including natural and human factor.
Bersama dengan Indikasi Asal (Indication of Source),
AO termasuk dalam aturan nama dagang yang memakai nama tempat untuk
produk dagangnya. Nama tempat berfungsi sebagai tanda pembeda. Lebih
luas pengertiannya dari AO yang harus sama persis dengan produknya, IG
merujuk tidak hanya pada nama tempat, tetapi juga tanda-tanda kedaerahan
atau lambang dari lokasi bersangkutan yang mengidentifikasikan asal
produk khas bersangkutan. Contohnya seperti Menara Petronas, Opera House Sidney
ataupun Rumah Adat Toraja. Tanda itu bukan produk dagangnya, tetapi
melekat pada produk sebagai tanda asal yang berhubungan dengan
kerakteristik produknya. Bandingkan kondisinya dengan produk berupa Champagne, Tequila, ataupun keju Parmagiano. Kesemuanya merupakan contoh IG.
Definisi Persetujuan TRIPs mengenai IG dituangkan dalam Pasal 22 ayat (1), sebagai berikut:
…
indication which identify a good as originating in the territory of a
Member, or a region or locally in that territory, where a given quality,
representation or other characteristic of the goods is essentially
attributable to its geographical origin.
IG
sendiri pengaturannya dalam Persetujuan TRIPs tidak mengatur lebih jauh
ihwal norma tertentu yang harus diikuti Negara peserta. Standar minimum
yang harus dilakukan setiap Negara peserta hanyalah melakukan cara-cara
hukum dalam rangka perlindungannya (legal means), termasuk singgungannya dengan persaingan tidak sehat (unfair competition).
Bentuk perlindungan seperti apa diserahkan pada kebijaksanaan
masing-masing Negara. Aturan IG pun boleh dimasukkan di dalam ataupun di
luar aturan Merek. Walaupun TRIPs sendiri mengakui bahwa baik IG maupun
Merek merupakan rezim yang independen.
Adanya
aturan mengenai IG di Indonesia, sebagai salah satu bentuk norma
perlindungan HKI, hadir setelah keikutsertaan dan ratifikasi Indonesia
dalam Persetujuan TRIPs (vide Keppres No. 7 Tahun 1994).
Norma baru yang merupakan bagian dari penyesuaian aturan HKI pasca
penandatanganan Persetujuan TRIPs ini dimasukkan dalam rezim Merek
sebagaimana tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Merek dan dalam
UU Merek yang baru, UU No. 15 Tahun 2001 (“UU Merek”). Norma pembatasannya tercantum pada Pasal 56 ayat (1) UU Merek, sebagai berikut:
Indikasi-geografis
dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan
ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Serupa
dengan perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan IG juga
mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja
pendaftaran dilakukan oleh kelompok masyarakat atau institusi yang
mewakili atau memiliki kepentingan atas produk bersangkutan. Berbeda
dengan perlindungan merek, IG tidak mengenal batas waktu perlindungan
sepanjang karakteristik yang menjadi unggulannya masih tetap dapat
dipertahankan. Penjabaran secara rinci ihwal perlindungan IG dituangkan
dalam aturan pelaksana berupa PP No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi-Geografis (“PP 51/2007”).
Akibat Hukum
Akibat
hukum adanya pendaftaran merek Toraja di Jepang, tentunya menghalangi
eksportir kopi dari Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang
menggunakan tanda dengan nama Toraja. Perlindungan hukum HKI bersifat
teritorial. Ironis bagi pihak Indonesia -- wilayah geografis dari mana
Kopi Toraja itu berasal -- manakala pihak asing justru berebut karena
nilai aset dan peluang bisnisnya. Walaupun aset tersebut secara de facto
telah lama dimiliki, tetapi perlindungannya mensyaratkan kepemilikan
yang bersifat yuridis normatif, yaitu pendaftaran kepemilikan.
Tentunya
pada saat kopi dengan nama dagang beserta gambar rumah adat Toraja
terdaftar sebagai Merek di Jepang, perkembangan hukum Merek di Indonesia
belum sampai tahap pemahaman konsep perlindungan IG. Walaupun
pengenalan akan nama daerah yang dapat digunakan sebagai tanda dalam
perputaran barang dan jasa dalam perdagangan internasional sudah ada
pada norma AO yang perlindungannya tertuang dalam Konvensi Paris 1883,
Perjanjian dan Protokol Madrid ataupun Perjanjian Lisabon 1958 (Lisbon Agreement of 1958 for the Protection of Appellation of Origin).
Itupun posisi Indonesia bukan merupakan Negara peserta dari semua
kesepakatan internasional tersebut, kecuali kemudian Konvensi Paris 1883
yang diratifikasi pasca Persetujuan TRIPs.
Upaya Hukum
Secara
logis, produk bermuatan IG dimiliki oleh masyarakat yang memiliki
kepentingan langsung dengan IG bersangkutan. Namun dalam kerangka
perlindungan hukum, perlindungan IG memerlukan upaya yang proaktif dari
pihak yang berkepentingan (komunitas pemilik) berupa pendaftaran dalam
rangka alas kepemilikannya. Berkenaan dengan kasus Kopi Toraja, klaim
dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan mewakili masyarakat
(adat) Toraja ataupun pemerintah daerah setempat (vide Pasal 5 ayat [3] PP 51/2007). Kopi Kintamani Bali contohnya, merupakan pilot project
pendaftaran IG di Indonesia. Ihwal penting yang menjadi pertimbangan
perlindungan IG adalah konsistensi dari kualitas karakteristik
kedaerahan produk bersangkutan, baik itu berasal dari kondisi alamnya,
sumber daya manusia ataupun kombinasi keduanya. Produksi kopi Kintamani
sendiri telah dimulai sejak awal abad ke-19 di lereng Gunung Batur, Bali
dan karakteristik kopinya tetap dapat dipertahankan baik dari sisi
tradisi pengolahannya serta produk kopi yang dihasilkan. Perlindungan IG
kopi Kintamani sendiri baru diperoleh pada 2008 dan merupakan IG
pertama di Indonesia.
Upaya
pendaftaran kopi Toraja sebagai IG di Indonesia diperlukan sebagai
langkah awal pengakuan hak. Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi
internasional seperti Perjanjian Lisabon 1958 perlu dijajaki untuk
memperkuat kepemilikan IG dalam wadah internasional. Di samping itu,
Perjanjian ini memuat pula aturan yang mengutamakan kekuatan pendaftaran
IG sehingga dapat meletakan kepemilikan Merek dalam prioritas kedua,
sekalipun sudah terdaftar lebih dahulu atas dasar itikad baik (vide
Pasal 5 ayat [6] Penjanjian Lisabon 1958). Namun, upaya hukum pun perlu
mengingat azas teritorial HKI. Aturan hukum setempat perlu menjadi
acuan pertimbangan dan kajian berkaitan dengan bentuk perlindungan IG
berikut Merek dan ihwal Persaingan Tidak Sehat di Jepang.
Pelajaran
berharga dari kasus ini bahwa kesadaran untuk melindungi aset berharga
seringkali tertinggal karena rasa memiliki baru hadir setelah potensi
alam/bangsa kemudian diklaim oleh pihak asing yang bermata jeli dan
menghargai nilai komersial dari aset tersebut. Potensi nilai ekonomis
dari kopi Toraja telah disadari dan dilirik oleh pengusaha Jepang. Kasus
ini mengemuka setelah adanya norma IG yang diperkenalkan Persetujuan
TRIPs. Oleh karenanya, perlu pembenahan dalam pendokumentasian aset
nasional. Kemajuan yang tercatat saat ini, produk-produk IG yang telah
bersertifikat, antara lain: Kopi Kintamani Bali, Kopi Arabika Gayo, Lada
Putih Muntok, Mebel Ukiran Jepara, Tembakau Mole Sumedang, Tembakau
Hitam Sumedang, Susu Kuda Sumbawa, Kangkung Lombok, dan Beras Adan
Krayan.
Dasar hukum:
3. Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
Sumber: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fd1bd073c3a6/perlindungan-indikasi-geografis-aset-nasional-dari-pendaftaran-oleh-negara-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar